ESSAY I
PENGARUH
KELUARGA BROKEN HOME TERHADAP GANGGUAN DEPRESI PADA REMAJA
Remaja merupakan suatu tahap peralihan dan periode perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Perkembangan
ini meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga
terjadi pada perubahan dalam hubungannya dengan orang tua dan cita-cita mereka. Hinton (1989, dalam Susilowati) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa perubahan hormonal,
perubahan tingkat dan pola hubungan sosial sehingga remaja cenderung
mempresepsikan orang tua secara berbeda.Pada masa remaja, menurut Hurlock
(1997) ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam perkembangannya,
yaitu:
a.
Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang
berhubungan dengan situasi dan kondisidi rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian
sosial, tugas dan nilai-nilai.
b.
Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang
tidak jelas padaremaja, seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih
besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh
orangtua.
Masa remaja ini adalah masa dimana seseorang
rentan dengan segala tekanan, eksternalmaupun
internal yang kemudian dapat muncul berbagai permasalahan seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba kenakalan pada remaja dan sebagainya. Gangguan
suasana hati adalah salah satu contoh
ekspresi yang terlihat dari remaja saat menghadapi berbagai jenis tekanan,
contohnya depresi yang disebabkan oleh berbagai faktor. Gangguan depresi
memiliki pengaruh yang sangat mendalam terhadap berfungsinya dan
penyesuaian diri pada remaja terutama pada masa perkembangannya. Depresi bila
tidak dicegah atau diatasi akan berakibat sangat merugikan bagi remaja. Bunuh
diri adalah salah satu dampak yang paling berat karena depresi pada remaja.
Jika seorang anak mengalami perlakuan yang tidak adil dari orangtuanya dan hidup dalam keluarga yang tidak harmonis maka
akan menyebabkan goncangan emosi yang dapat memicu respon fisiologis dan psikologis yang mengakibatkan
anak depresi. Pada saat masa inilah
remaja sangat membutuhkan bimbingan dari orang tua maupun orang terdekat.
Gangguan
depresi adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling sering terjadi. Depresi
adalah gangguan mental umum yang menyajikan dengan mood depresi, kehilangan minat
atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur terganggu, nafsu
makan, energi rendah, dan hilang konsentrasi. Masalah ini dapat menjadi kronis
atau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam kemampuan individu untuk
mengurus tanggung jawab sehari-harinya (WHO, 2011). Depresi merupakan salah
satu gangguan alamiah atau perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih yang
berlebihan, murung, tidak bersemangat,
merasa tidak berharga, merasa kosong, dan tidak ada harapan, berpusat pada
kegagalan dan menuduh diri, dan sering disertai iri dan pikiran bunuh diri
(Hinton,1989). Depresi adalah suatu kondisi medis-psikiatris dan bukan sekedar
suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan
terganggunya aktifitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu
gangguan depresi. Beberapa gejala gangguan depresi adalah perasaan sedih, rasa
lelah yang berlebihan setelah aktifitas rutin yang biasa, hilang minat dan
semangat, malas beraktifitas, dan gangguan pola tidur. Depresi merupakan salah
satu penyebab utama kejadian bunuh diri (Hadi, 2004). Berdasarkan pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa depresi adalah gangguan mental umum perasaan yang
ditandai dengan sedih berlebihan yang dapat menyebabkan terganggunya aktifitas
sosial. Depresi yang nyata dapat dilihat pada anak usia lebih 10 tahun terutama
pada usia remaja, di mana superego, kemampuan verbal, kognitif dan kemampuan menyatakan
perasaannya sudah berkembang lebih matang sehingga gejala depresi pada usia ini
mirip dengan gejala depresi pada orang dewasa.
Faktor
penyebab depresi ada empat, yaitu: (Archirev, 2007)
1.
Individu, yaitu paradigma berpikir.
2.
Keluarga, adalah lingkungan awal
tempat dia tinggal dan berinteraksi dengan orang terdekatnya jika orang tuanya
sering bertengkar karena masalah sepele dan merasa saling direndahkan, hal ini
akan menjadi puncak gangguan kejiwaan yang berujung pada broken home dan dampak
yang mengikutinya sepertianti sosial.
3.
Masyarakat, adalah lingkungan
berikutnya yang juga tidak kecil pengaruhnya terhadap seseorang sebab mau tidak
mau setiap diri berinteraksi dengan masyarakat.
4.
Pemerintah, misalnya karena sistem
kapitalis sehingga menyebabkan banyak sekali kriminalitas kekerasan fisik
hingga pembunuhan hanya karena masalah kecil.
Dalam proses
perkembangan yang sulit dan masa-masa membingungkan, remaja membutuhkan
perhatian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama
orang tua atau keluarganya. Keluarga adalah tempat perkembangan awal seorang
anak, sejak saat kelahirannya sampai proses perkembangan jasmani dan rohani
berikutnya. Lagi seorang anak, keluarga memiliki arti dan fungsi yang vital
bagi kelangsungan hidup maupun dalam menemukan makna dan tujuan hidupnya. Fungsi
dari keluarga adalah mengayomi seluruh anggota keluarganya sehingga tercipta
rasa aman pada diri remaja. Namun pada kenyaataan, banyak keluarga yang tidak
dapat dengan seutuhnya mengayomi dan mendidik anggota keluarga maupun anaknya
karena banyak orang tua yang tidak bisa membagi waktu mendidik anaknya secara
langsung, kurang harmonis, sering terjadi keributan serta perselisihan
yangmenyebabkan pertengkaran hebat sehingga berakhir pada perceraian. Masalah
keluarga broken home bukan menjadi masalah baru tetapi merupakan masalah
yang utama dari akar-akar kehidupan seorang remaja. Perceraian tersebut akan
berdampak pada kondisi psikologis anak dari orang tuanya yang bercerai. Pada
saat anak sudah mulai menginjak masa remaja pada saat itu anak mulai mengerti
dampak yang ditimbulkan dari kedua orang tuanya yang bercerai atau memilki
keluarga broken home. Kelompok anak yang sudah menginjak usia remaja
pada saat mereka mengalami kasus dari perceraian kedua orang tuanya, mereka
tidak lagi menyalahkan diri sendiri, tetapi mereka memiliki sedikit perasaan
takut karena perubahan situasi keluarganya dan merasa cemas akibat ditinggalkan
oleh salah satu orang tuanya. Istilah broken home biasanya digunakan
untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua yang tidak lagi
peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi
perhatian terhadap anak-anaknya, baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada
perkembangan pergaulan anak di masyarakat (Archiev, 2007). Broken home juga
diartikan untuk menggambarkan keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan
layaknya keluarga yang sejahtera dan rukun akibat dari sering terjadi
kon&lik yang menyebabkan pertengkarandan berakhir pada perceraian. Menurut
para ahli, kriteria keluarga yang tidak sehat antara lain: (Sampoerno dan Azwar,
1987).
a.
Keluarga tidak utuh (broken home,
separation, divorce)
b.
Kesibukan orangtua, ketidakberadaan
dan ketidak bersamaan orang tua dan anak dirumah.
c.
Hubungan interpersonal antar anggota
keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik (buruk)
d.
Substitusi ungkapan kasih sayang
orang tua kepada anak, dalam bentuk materi daripada kejiwaan (psikologis).
Pada
dasarnya orang tua dan keluarga merupakan panutan dan teladan bagi perkembangan
remaja, terutama perkembangan psikis dan emosi, orang tua juga berperan sebagai
pembentuk awal karakter dari remaja tersebut. Thompson (dalam Wong, dkk, 2009)
dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perceraian telah menimbulkan efek
pada anak. Penelitian jangka panjang mengindikasikan banyak anak-anak menderita
psikologis dan sosial selama bertahun-tahun akibat stress yang berkepanjangan
dan atau stress baru dalam keluarga yang bercerai sehingga menimbulkan depresi.
Peristiwa perceraian itu akan menimbulkan ketidak stabilan emosi. Remaja dengan
keluarga yang broken home akan berdampak besar pada perkembangan
dirinya, dampak bagi anak remaja yang ditimbulkan dari perceraian keduaorang
tuanya yaitu anak akan merasa malu dengan kondisi yang dialaminya, ketidak percayaan diri terhadap kemampuan dan
kedudukannya, merasa rendah diri sehingga takut untuk bergaul dengan orang
lain, serta mengakibatkan perasaan sedih yang berkepanjangan yang berdampak
pada hal-hal yang negatif yang akan dilakukan pada anak untuk menghilangkan
rasa sedih tersebut. Sikap yang sering ditunjukkan remaja yang sedang mengalami
depresi karena masalah keluarga broken home antara lain adalah remaja
menjadi terlihat tertekan, suka menyendiri, berperilaku nakal, tidak pernah
tersenyum, menjadi gugup, jika menghadapi masalah cepat merasa putus asa,
merasa hidup ini tidak berarti, sulit bergaul karena merasa rendah diri, motivasi
belajar menjadi menurun sehingga menimbulkan kesulitan belajar sehingga membuat
prestasi belajar akan menurun, bahkan remaja akan mencobamelakukan tindakan
bunuh diri karena tidak bisa mengendalikan depresinya. Hal-hal seperti yang
telah disebutkan diatas sebagai gejala-gejala dari depresi itu bisa sangat
mengganggu kehidupan seorang remaja baik untuk diri mereka sendiri maupun
lingkungan remaja itu sendiri.
Kesadaran
emosi sangat diperlukan untuk mencegah seorang remaja yang terjebak
dalamsuasana hati seperti sedih yang berlebihan akibat memiliki keluarga broken
home. Menurut Segal (2003) kesadaran emosi sangat penting bagi seseorang sebab tanpa
kesadaran emosi, tanpa kemampuan untuk mengenal dan menghargai perasaan yang dialami,
serta bertindak jujur sesuai dengan perasaan tersebut, individu akan mengalami
banyak kesulitan dalam kehidupannya, tidak dapat mengambil keputusan dengan
mudah, dan sering terombang-ambing oleh berbagai keadaan yang terjadi
disekelilingnya. Gangguan depresi yang dialami remaja dengan keluarga broken
home dapat diobati dan dipulihkan melalui konseling atau psikoterapi dan
beberapa diantaranya memerlukan tambahan terapi fisik maupun kombinasi
keduanya, karena ada beberapa faktor yang saling berinteraksi untuk timbulnya
gangguan depresi, penata laksanaan yang komprehensi & sangat diperlukan. Terapi
gangguan depresi & memerlukan peran serta individu yang bersangkutan,
keluarga maupun praktisi medis dan paramedis yang professional untuk dapat
mempercepat proses penyembuhannya. Hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua
yaitu, orang tua harus menciptakan kondisi lingkungan rumah yang baik, memberi
contoh yang baik, dan bersikap harmonis di rumah. Sehingga akan membentuk
karakter anak yang baik pula. Dari penulisan ini diharapkan orang tua lebih
memperhatikan perkembangan anak dan tidak hanya mementingkan egonya
masing-masing seperti berpisah atau bercerai, karena sikap orang tua itu sangat
berpengaruh pada perkembangan anak terutama remaja karena setiap anak akan selalu
membutuhkan dukungan dari kedua orangtuanya dan ingin mendapatkan kasih sayang yang
lengkap dari kedua orangtuanya secara langsung. Dengan cara memberikan
perhatian yang sama sebelum dan sesudah masa perceraian orang tua, dengan cara
itu orang tua bisa tetap menciptakan suasana yang nyaman dan tetap menerapkan
kedisiplinan pada remaja dirumah agar para remaja tidak mencari kasih sayang
diluar lingkungan keluarga dan tidak melakukan hal yang dapat merugikan dirinya
sendiri. Menurut Kartini Kartono, skap dan perilaku orang tua dalam hubungan
dengan anak-anak mempengaruhi setiap pertumbuhan dan perkembangan. Bagi para
remaja yang memiliki keluarga broken home dalam menghadapi permasalahan yang
ada diharapkan dapat bersikap optimis, mencoba menerima keadaan yang terjadi,
berusaha untuk tegar, tidak terpengaruh oleh hal-hal yang negatif dan tidak
memiliki persepsi yang negatif terhadap keluarga yang dimilikinya agar tingkat
depresi yang dialami dapat berkurang. Jadi gangguan depresi yang dialami remaja
sebagian besar disebabkan olehkeluarga. Remaja dengan keluarga broken home akan
berdampak pada psikologis anak dan perilakunya. Keadaan keluarga yang tidak
harmonis atau broken home merupakan faktor
penentu bagi perkembangan kepribadian remaja yang tidak sehat. Peran
keluarga sangat mempengaruhi perkembangan remaja, seharusnya orangtua dapat mengendalikan
egonya dan berusaha menghindari terjadinya perceraian serta mengetahui dampak
yang ditimbulkan dari perceraian bagi perkembangan anak saat ini.
ESSAY II
Hubungan Antara Kesehatan Mental Dengan Kecerdasan Emosional
Menurut organisasi kesehatan dunio (WHO) kesehatan adalah suatu
kondisi perasaaan yang sempurna, baik secara fisik, mental atau kejiwaan,
maupun lingkungan sosialnya. Menurut Cooper dan Sawaf (2002) kecerdasan
emosional didefinisikan sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara
efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi,
koneksi, dan pengaruh manusiawi. Konsep Kecerdasan Emosional Goleman
(2006) menyatakan bahwa konsep kecerdasan emosional meliputi lima wilayah
utama, yaitu : a. Mengenali emosi diri Kesadaran diri adalah kemampuan untuk
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Ini merupakan dasar kecerdasan
emosional. Konsep ini meliputi kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke
waktu yang merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri.
Ketidakmampuan untuk mengenali emosi diri kita yang sesungguhnya membuat kita
berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih
tentang perasaannya adalah sebuah pilot yang andal bagi kehidupan mereka.
Karena mereka mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang
sesungguhnya di dalam pengambilan keputusankeputusan masalah pribadi, mulai
dari masalah siapa yang akan dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan
diambil.
Dari teori
diatas, saya bisa mengambil salah satu contoh tentang seseorang guru yang tidak
bisa mengatur kecerdasan emosionalnya. Ade Sukma Fachrurromdzi adalah salah
satu siswa SMP IT Insan Mubarak yang dipukul oleh Kholil selaku guru Ade Sukma
hingga pingsan dan mengalami luka hingga harus di jahit dibagian pelipisnya
akibat prilaku Kholil. Ade Sukma bukan hanya satu korban yang mengalami
kekerasan di dunia sekolah sebenarnya sudah banyak terjadi di Indonesia ini.
Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Agus suradika menentang keras
perlakuan kasar seorang tenaga pendidik kepada muridnya. Menurut Agus, jika
seorang guru tidak bisa mengendalikan emosinya lebih baik tidak memilih profesi
sebagai tenaga pengajar. Hingga saat ini tidakan guru Ade Suma sudah ditangani
unit PPA Polres Metro Jakarta Barat. Dalam waktu dekat polisi segera memanggil
Kholil untuk menjalani pemeriksaan. Kholil mengaku tidak sengaja memukul anak
didiknya itu.
Lalu apa
hubungannya kesehatan mental dengan kecerdasan emosional? Dari teori yang sudah
jabarkan dan saya berikan salah satu kasus. Menurut saya kondisi seseorang yang
sedang tidak baik dalam jiwa ataupun mentalnya akan dapat mempengaruhi
emosionalya. Kholil adalah satu orang yang tidak dapat mengendalikan emosinya
secara baik dan cerdas. Untuk dapat mengendalikan emosi dengan baik silahkan
buka sumber referensi saya pada jurnal kecerdasan emosi pada remaja pelaku
tawuran. Jiwa/ mental yang sehat akan mempengaruhi mood kita dalam berkerja
ataupun melakukan sesuatu dan akan dapat mengkontrol diri kita untuk
mengendalikan situasi yang kita hadapi. Terimakasih atas sumber referensi yang
sudah membantu saya dalam penulisan tugas essay pada mata kuliah kesehatan
mental.
DAFTAR
PUSTAKA
Archievo.
(2007). Depresi? Perlu Penyelesaian Yang Menyeluruh. Islamuda.
Cooper,
Robert K & Ayman Sawaf. (2002). Executive EQ: Kecerdasan emosional dalam
kepemimpinan dan organisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hadi, P.
(2004). Depresi dan Solusinya. Yogyakarta: Tugu.
Hinton, J.
(1989). Depresi dan Perawatannya. Jakarta: Dian Rakyat.
Hurlock.
(1997). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Alih Bahasa: Wijaya. Jakarta: Erlangga. (Edisi Kelima).
Sampoerno
dan Azwar. (1987). Psikologi Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Wanti, T.
(2010). Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua Pada Remaja Awal.
Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.
Wong, D.L.,
Hockenbery, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., Schwartz, P. Buku Ajar
Keperawatan Pediatrik. Volume 1, Edisi 6. (2009). Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Goleman, D.
(2006). Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi. Bandung: PT. Gramedia
Pustaka Utama