Selasa, 28 April 2015

TUGAS KESEHATAN MENTAL PERTEMUAN KE-2



ESSAY    I
PENGARUH KELUARGA BROKEN HOME TERHADAP GANGGUAN DEPRESI PADA REMAJA

Remaja merupakan suatu tahap peralihan dan periode perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Perkembangan ini meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi pada perubahan dalam hubungannya dengan orang tua dan cita-cita mereka. Hinton (1989, dalam Susilowati) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa perubahan hormonal, perubahan tingkat dan pola hubungan sosial sehingga remaja cenderung mempresepsikan orang tua secara berbeda.Pada masa remaja, menurut Hurlock (1997) ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam perkembangannya, yaitu:
a.       Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisidi rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.
b.      Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas padaremaja, seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh orangtua.
Masa remaja ini adalah masa dimana seseorang rentan dengan segala tekanan, eksternalmaupun internal yang kemudian dapat muncul berbagai permasalahan seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba kenakalan pada remaja dan sebagainya. Gangguan suasana hati adalah salah satu contoh ekspresi yang terlihat dari remaja saat menghadapi berbagai jenis tekanan, contohnya depresi yang disebabkan oleh berbagai faktor. Gangguan depresi memiliki pengaruh yang sangat mendalam terhadap berfungsinya dan penyesuaian diri pada remaja terutama pada masa perkembangannya. Depresi bila tidak dicegah atau diatasi akan berakibat sangat merugikan bagi remaja. Bunuh diri adalah salah satu dampak yang paling berat karena depresi pada remaja. Jika seorang anak mengalami perlakuan yang tidak adil dari orangtuanya dan hidup dalam keluarga yang tidak harmonis maka akan menyebabkan goncangan emosi   yang dapat memicu respon fisiologis dan psikologis yang mengakibatkan anak depresi. Pada saat masa inilah remaja sangat membutuhkan bimbingan dari orang tua maupun orang terdekat.
Gangguan depresi adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling sering terjadi. Depresi adalah gangguan mental umum yang menyajikan dengan mood depresi, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur terganggu, nafsu makan, energi rendah, dan hilang konsentrasi. Masalah ini dapat menjadi kronis atau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam kemampuan individu untuk mengurus tanggung jawab sehari-harinya (WHO, 2011). Depresi merupakan salah satu gangguan alamiah atau perasaan yang ditandai dengan perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak  bersemangat, merasa tidak berharga, merasa kosong, dan tidak ada harapan, berpusat pada kegagalan dan menuduh diri, dan sering disertai iri dan pikiran bunuh diri (Hinton,1989). Depresi adalah suatu kondisi medis-psikiatris dan bukan sekedar suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktifitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu gangguan depresi. Beberapa gejala gangguan depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktifitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktifitas, dan gangguan pola tidur. Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri (Hadi, 2004). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa depresi adalah gangguan mental umum perasaan yang ditandai dengan sedih berlebihan yang dapat menyebabkan terganggunya aktifitas sosial. Depresi yang nyata dapat dilihat pada anak usia lebih 10 tahun terutama pada usia remaja, di mana superego, kemampuan verbal, kognitif dan kemampuan menyatakan perasaannya sudah berkembang lebih matang sehingga gejala depresi pada usia ini mirip dengan gejala depresi pada orang dewasa.
Faktor penyebab depresi ada empat, yaitu: (Archirev, 2007)
1.      Individu, yaitu paradigma berpikir.
2.      Keluarga, adalah lingkungan awal tempat dia tinggal dan berinteraksi dengan orang terdekatnya jika orang tuanya sering bertengkar karena masalah sepele dan merasa saling direndahkan, hal ini akan menjadi puncak gangguan kejiwaan yang berujung pada broken home dan dampak yang mengikutinya sepertianti sosial.
3.      Masyarakat, adalah lingkungan berikutnya yang juga tidak kecil pengaruhnya terhadap seseorang sebab mau tidak mau setiap diri berinteraksi dengan masyarakat.
4.      Pemerintah, misalnya karena sistem kapitalis sehingga menyebabkan banyak sekali kriminalitas kekerasan fisik hingga pembunuhan hanya karena masalah kecil.
Dalam proses perkembangan yang sulit dan masa-masa membingungkan, remaja membutuhkan perhatian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya. Keluarga adalah tempat perkembangan awal seorang anak, sejak saat kelahirannya sampai proses perkembangan jasmani dan rohani berikutnya. Lagi seorang anak, keluarga memiliki arti dan fungsi yang vital bagi kelangsungan hidup maupun dalam menemukan makna dan tujuan hidupnya. Fungsi dari keluarga adalah mengayomi seluruh anggota keluarganya sehingga tercipta rasa aman pada diri remaja. Namun pada kenyaataan, banyak keluarga yang tidak dapat dengan seutuhnya mengayomi dan mendidik anggota keluarga maupun anaknya karena banyak orang tua yang tidak bisa membagi waktu mendidik anaknya secara langsung, kurang harmonis, sering terjadi keributan serta perselisihan yangmenyebabkan pertengkaran hebat sehingga berakhir pada perceraian. Masalah keluarga broken home bukan menjadi masalah baru tetapi merupakan masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang remaja. Perceraian tersebut akan berdampak pada kondisi psikologis anak dari orang tuanya yang bercerai. Pada saat anak sudah mulai menginjak masa remaja pada saat itu anak mulai mengerti dampak yang ditimbulkan dari kedua orang tuanya yang bercerai atau memilki keluarga broken home. Kelompok anak yang sudah menginjak usia remaja pada saat mereka mengalami kasus dari perceraian kedua orang tuanya, mereka tidak lagi menyalahkan diri sendiri, tetapi mereka memiliki sedikit perasaan takut karena perubahan situasi keluarganya dan merasa cemas akibat ditinggalkan oleh salah satu orang tuanya. Istilah broken home biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua yang tidak lagi peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya, baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan anak di masyarakat (Archiev, 2007). Broken home juga diartikan untuk menggambarkan keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang sejahtera dan rukun akibat dari sering terjadi kon&lik yang menyebabkan pertengkarandan berakhir pada perceraian. Menurut para ahli, kriteria keluarga yang tidak sehat antara lain: (Sampoerno dan Azwar, 1987).
a.       Keluarga tidak utuh (broken home, separation, divorce)
b.      Kesibukan orangtua, ketidakberadaan dan ketidak bersamaan orang tua dan anak dirumah.
c.       Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik (buruk)
d.      Substitusi ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak, dalam bentuk materi daripada kejiwaan (psikologis).
Pada dasarnya orang tua dan keluarga merupakan panutan dan teladan bagi perkembangan remaja, terutama perkembangan psikis dan emosi, orang tua juga berperan sebagai pembentuk awal karakter dari remaja tersebut. Thompson (dalam Wong, dkk, 2009) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perceraian telah menimbulkan efek pada anak. Penelitian jangka panjang mengindikasikan banyak anak-anak menderita psikologis dan sosial selama bertahun-tahun akibat stress yang berkepanjangan dan atau stress baru dalam keluarga yang bercerai sehingga menimbulkan depresi. Peristiwa perceraian itu akan menimbulkan ketidak stabilan emosi. Remaja dengan keluarga yang broken home akan berdampak besar pada perkembangan dirinya, dampak bagi anak remaja yang ditimbulkan dari perceraian keduaorang tuanya yaitu anak akan merasa malu dengan kondisi yang dialaminya, ketidak  percayaan diri terhadap kemampuan dan kedudukannya, merasa rendah diri sehingga takut untuk bergaul dengan orang lain, serta mengakibatkan perasaan sedih yang berkepanjangan yang berdampak pada hal-hal yang negatif yang akan dilakukan pada anak untuk menghilangkan rasa sedih tersebut. Sikap yang sering ditunjukkan remaja yang sedang mengalami depresi karena masalah keluarga broken home antara lain adalah remaja menjadi terlihat tertekan, suka menyendiri, berperilaku nakal, tidak pernah tersenyum, menjadi gugup, jika menghadapi masalah cepat merasa putus asa, merasa hidup ini tidak berarti, sulit bergaul karena merasa rendah diri, motivasi belajar menjadi menurun sehingga menimbulkan kesulitan belajar sehingga membuat prestasi belajar akan menurun, bahkan remaja akan mencobamelakukan tindakan bunuh diri karena tidak bisa mengendalikan depresinya. Hal-hal seperti yang telah disebutkan diatas sebagai gejala-gejala dari depresi itu bisa sangat mengganggu kehidupan seorang remaja baik untuk diri mereka sendiri maupun lingkungan remaja itu sendiri.
Kesadaran emosi sangat diperlukan untuk mencegah seorang remaja yang terjebak dalamsuasana hati seperti sedih yang berlebihan akibat memiliki keluarga broken home. Menurut Segal (2003) kesadaran emosi sangat penting bagi seseorang sebab tanpa kesadaran emosi, tanpa kemampuan untuk mengenal dan menghargai perasaan yang dialami, serta bertindak jujur sesuai dengan perasaan tersebut, individu akan mengalami banyak kesulitan dalam kehidupannya, tidak dapat mengambil keputusan dengan mudah, dan sering terombang-ambing oleh berbagai keadaan yang terjadi disekelilingnya. Gangguan depresi yang dialami remaja dengan keluarga broken home dapat diobati dan dipulihkan melalui konseling atau psikoterapi dan beberapa diantaranya memerlukan tambahan terapi fisik maupun kombinasi keduanya, karena ada beberapa faktor yang saling berinteraksi untuk timbulnya gangguan depresi, penata laksanaan yang komprehensi & sangat diperlukan. Terapi gangguan depresi & memerlukan peran serta individu yang bersangkutan, keluarga maupun praktisi medis dan paramedis yang professional untuk dapat mempercepat proses penyembuhannya. Hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua yaitu, orang tua harus menciptakan kondisi lingkungan rumah yang baik, memberi contoh yang baik, dan bersikap harmonis di rumah. Sehingga akan membentuk karakter anak yang baik pula. Dari penulisan ini diharapkan orang tua lebih memperhatikan perkembangan anak dan tidak hanya mementingkan egonya masing-masing seperti berpisah atau bercerai, karena sikap orang tua itu sangat berpengaruh pada perkembangan anak terutama remaja karena setiap anak akan selalu membutuhkan dukungan dari kedua orangtuanya dan ingin mendapatkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orangtuanya secara langsung. Dengan cara memberikan perhatian yang sama sebelum dan sesudah masa perceraian orang tua, dengan cara itu orang tua bisa tetap menciptakan suasana yang nyaman dan tetap menerapkan kedisiplinan pada remaja dirumah agar para remaja tidak mencari kasih sayang diluar lingkungan keluarga dan tidak melakukan hal yang dapat merugikan dirinya sendiri. Menurut Kartini Kartono, skap dan perilaku orang tua dalam hubungan dengan anak-anak mempengaruhi setiap pertumbuhan dan perkembangan. Bagi para remaja yang memiliki keluarga broken home dalam menghadapi permasalahan yang ada diharapkan dapat bersikap optimis, mencoba menerima keadaan yang terjadi, berusaha untuk tegar, tidak terpengaruh oleh hal-hal yang negatif dan tidak memiliki persepsi yang negatif terhadap keluarga yang dimilikinya agar tingkat depresi yang dialami dapat berkurang. Jadi gangguan depresi yang dialami remaja sebagian besar disebabkan olehkeluarga. Remaja dengan keluarga broken home akan berdampak pada psikologis anak dan perilakunya. Keadaan keluarga yang tidak harmonis atau broken home merupakan faktor  penentu bagi perkembangan kepribadian remaja yang tidak sehat. Peran keluarga sangat mempengaruhi perkembangan remaja, seharusnya orangtua dapat mengendalikan egonya dan berusaha menghindari terjadinya perceraian serta mengetahui dampak yang ditimbulkan dari perceraian bagi perkembangan anak saat ini.



ESSAY II
Hubungan Antara Kesehatan Mental Dengan Kecerdasan Emosional

Menurut organisasi kesehatan dunio (WHO) kesehatan adalah suatu kondisi perasaaan yang sempurna, baik secara fisik, mental atau kejiwaan, maupun lingkungan sosialnya. Menurut Cooper dan Sawaf (2002) kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh manusiawi. Konsep Kecerdasan Emosional Goleman (2006) menyatakan bahwa konsep kecerdasan emosional meliputi lima wilayah utama, yaitu : a. Mengenali emosi diri Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Ini merupakan dasar kecerdasan emosional. Konsep ini meliputi kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu yang merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mengenali emosi diri kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah sebuah pilot yang andal bagi kehidupan mereka. Karena mereka mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya di dalam pengambilan keputusankeputusan masalah pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil.
Dari teori diatas, saya bisa mengambil salah satu contoh tentang seseorang guru yang tidak bisa mengatur kecerdasan emosionalnya. Ade Sukma Fachrurromdzi adalah salah satu siswa SMP IT Insan Mubarak yang dipukul oleh Kholil selaku guru Ade Sukma hingga pingsan dan mengalami luka hingga harus di jahit dibagian pelipisnya akibat prilaku Kholil. Ade Sukma bukan hanya satu korban yang mengalami kekerasan di dunia sekolah sebenarnya sudah banyak terjadi di Indonesia ini. Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Agus suradika menentang keras perlakuan kasar seorang tenaga pendidik kepada muridnya. Menurut Agus, jika seorang guru tidak bisa mengendalikan emosinya lebih baik tidak memilih profesi sebagai tenaga pengajar. Hingga saat ini tidakan guru Ade Suma sudah ditangani unit PPA Polres Metro Jakarta Barat. Dalam waktu dekat polisi segera memanggil Kholil untuk menjalani pemeriksaan. Kholil mengaku tidak sengaja memukul anak didiknya itu.
Lalu apa hubungannya kesehatan mental dengan kecerdasan emosional? Dari teori yang sudah jabarkan dan saya berikan salah satu kasus. Menurut saya kondisi seseorang yang sedang tidak baik dalam jiwa ataupun mentalnya akan dapat mempengaruhi emosionalya. Kholil adalah satu orang yang tidak dapat mengendalikan emosinya secara baik dan cerdas. Untuk dapat mengendalikan emosi dengan baik silahkan buka sumber referensi saya pada jurnal kecerdasan emosi pada remaja pelaku tawuran. Jiwa/ mental yang sehat akan mempengaruhi mood kita dalam berkerja ataupun melakukan sesuatu dan akan dapat mengkontrol diri kita untuk mengendalikan situasi yang kita hadapi. Terimakasih atas sumber referensi yang sudah membantu saya dalam penulisan tugas essay pada mata kuliah kesehatan mental.

DAFTAR PUSTAKA

Archievo. (2007). Depresi? Perlu Penyelesaian Yang Menyeluruh. Islamuda.
Cooper, Robert K & Ayman Sawaf. (2002). Executive EQ: Kecerdasan emosional dalam kepemimpinan dan organisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hadi, P. (2004). Depresi dan Solusinya. Yogyakarta: Tugu.
Hinton, J. (1989). Depresi dan Perawatannya. Jakarta: Dian Rakyat.
Hurlock. (1997). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: Wijaya. Jakarta: Erlangga. (Edisi Kelima).
Sampoerno dan Azwar. (1987). Psikologi Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Wanti, T. (2010). Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua Pada Remaja Awal. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.
Wong, D.L., Hockenbery, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., Schwartz, P. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 1, Edisi 6. (2009). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Goleman, D. (2006). Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi. Bandung: PT. Gramedia Pustaka Utama